Oleh : Teguh Wicaksono
Pergeseran format produk musik mengubah pola konsumsi dan apresiasi. Pertanyaan besarnya: Ini inovasi atau degradasi? Apa harga yang harus dibayar?
“Jual karya musik kok di warung ayam?” Gumam seorang teman, mengeluh melihat KFC punya wajah ganda, selain menjual makanan cepat saji juga jadi label rekaman dan menawarkan album fisik artis-artis besutan Kolonel Sanders. Selusin sentimen – termasuk dari saya saat itu – yang serupa juga diarahkan ke upaya Indomaret dan Alfamart menjejerkan album lokal di deretan yang sama dengan roti sobek, kopi kemasan dan mie instan.
Karena dibentuk dengan nilai kesenian dan estetika yang “berkelas”, para pegiat musik enggan disamakan derajatnya dengan produk massal, mereka ingin karyanya didistribusikan melalui outlet musik eksklusif (baca: toko musik). Melihat ke belakang, fenomena penjualan toko ayam dan Indomaret sebenarnya hanyalah hasil kepanikan industri yang dipicu beberapa hal: 1) Daya adopsi model bisnis digital yang lemah 2) Pembajakan yang tidak ada obatnya 3) Daya beli rendah dan perangai konsumsi yang bergeser.
Dari segi pemasaran, yang terjadi sebenarnya sangat sederhana dan realistis: Penyalur produk musik sadar bahwa value produk fisik mengalami degradasi, lalu mencari titik distribusi yang paling masuk akal dari segi geografis dan posisi tawar konsumen. Jadilah KFC dan Indomaret dipinang oleh para penyalur. Mereka yang mengerti bahwa ini hanya soal distribusi dan tidak punya gengsi tinggi, akan mengangguk saja menerima realita bahwa album mereka dan pasta gigi kini dijual bersebelahan. Mereka yang punya gengsi dan ego, mempersenjatai diri dengan pengetahuan dan mental kerja mandiri untuk membuat solusi alternatif mereka sendiri.
Alasan tulisan ini dibuka dengan anekdot KFC dan Indomaret, karena perjalanan berikutnya dari produk musik yang awalnya dijual di toko musik, lalu berubah jadi dibeli di restoran cepat saji, kini dikonsumsi langsung dari jempol masuk ke telinga dan mata. Apakah ini artinya format musik kembali mengalami degradasi? Tergantung bagaimana Anda memandangnya.
Berkaca dengan kasus di atas, memang musik dan mediumnya selalu saja jadi topik yang apik. Marshall McLuhan mengumandangkan teori kunci “The Medium is the Message”, menguatkan argumen bahwa message yang hendak disampaikan, sama pentingnya (atau bahkan kurang penting, dibandingkan) dengan format delivery terhadap pesan tersebut. Hari ini, arus informasi musik sudah tidak lagi ditentukan oleh medium usang seperti televisi, radio dan majalah. Dampak positifnya – semua orang punya tingkat kemerdekaan yang sama dalam melakukan kurasi, konsumsi dan promosi. Dampak negatifnya – kompetisi pemasaran musik dan mengoleksi eyeballs di Indonesia menjadi sangat menantang. Bagaimana cara membuat karya Anda mencolok di antara ribuan lagu baru yang rilis setiap harinya? Bagaimana membuat karya Anda menyangkut dan punya koneksi emosional lebih daripada karya lain?
Hindia adalah contoh musisi yang mengerti dan berupaya untuk menggawangi pergeseran-pergeseran ini. Baskara membedah organ-organ produk musik, dan memberikannya nyawa yang setara dengan elemen-elemen utama yang secara tradisional diberikan perhatian lebih. Usai dibedah, semua elemen ini lalu disajikan dengan baik dan strategis, menggunakan corong utama mereka di media sosial. Olahan visual yang kuat, dokumentasi konsisten, tone of voice dan online presence yang jelas arahnya ke mana, adalah hal pertama yang membuat Hindia mudah dicerna oleh semua orang. Dalam pengelolaannya dari aset-aset promosional ini juga Hindia memiliki format penjadwalan, proses dan pipeline yang jelas terencana. Skill manajerial penting – bisa didalami secara mandiri – yang jarang dimiliki oleh artis-artis modern.
Hal berikutnya yang membuat Hindia punya nilai emosional lebih di antara produk musik lain seangkatannya, adalah upayanya untuk menjalin partisipasi dengan audiens. Tema lagu dan gaya penulisan lirik Baskara yang kasual dan berkelindan dengan keseharian, digunakan sebagai jangkar untuk meraih kolaborasi. Lagu yang menelisik ruang emosional bukanlah sesuatu yang baru, namun Hindia...
Baca tulisan lengkap Teguh Wicaksono :
Follow Hindia at :
Twitter -
Instagram -
-----------------------------------------------
►Subscribe to Sounds From The Corner :
Website :
Follow us at
Twitter -
Facebook -
Instagram -
0 Comments